Suara Mereka yang Dibungkam

Suara Mereka yang Dibungkam
massoud_sindo_Weekly
Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Email

Berawal dari demo-demo anti-Perang Vietnam 1960-an, Massoud Shadjareh jatuh cinta pada dunia aktivisme. Lewat Islamic Human Rights Commission, dia membela orang-orang yang dituding teroris, ekstrimis, dan sesat. Mereka yang kerap dianggap tak layak diadvokasi.

Bergegas meninggalkan ruang pertemuan di Kantor Wilayah Kementerian Agama Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur, Massoud Shadjareh seakan tak sabar ingin segera menaiki mobil. Minggu petang dua pekan lalu itu hujan memang turun rintik-rintik. Tapi bukan itu alasan Massoud tergesa.

Direktur Islamic Human Rights Commission yang bermarkas di London itu terkejut dengan jawaban pejabat Pemerintah Kabupaten dan sejumlah kiai Sampang. Dia hanya memohon mereka memperhatikan nasib warga Syiah di Gelanggang Olahraga Sampang yang sudah lima bulan lebih mengungsi di kampung sendiri dalam kondisi memprihatinkan setelah rumah dan harta benda mereka ludes dibakar massa pada pertengahan tahun lalu.

Permohonan itu tak digubris. Pejabat daerah dan kiai kompak. Pengungsi Syiah tak layak lagi kembali ke kampung, bahkan untuk hidup di Madura sekalipun. Alasannya, mereka sudah menyimpang dari ajaran Islam. Seorang kiai dengan gagahnya bahkan menganggap mereka bak diabetes atau kanker yang menggerogoti tubuh. “Ketimbang merusak seluruh tubuh, lebih baik diamputasi saja,” kata kiai itu.

“Saya butuh dokter,” kelakar Massoud di atas mobil kepada SINDO Weekly yang mengikuti kunjungannya ke Sampang.

Seorang Muslim, kata Massoud, tak akan membiarkan Muslim lain hidup dalam kondisi mengenaskan. “Kafir sekalipun tak pantas kita perlakukan seperti itu,” katanya kecewa. Ingatannya masih lekat dengan wajah-wajah polos para pengungsi yang dia sapa sehari sebelumnya. Orang-orang kampung sederhana yang hanya ingin pulang dan hidup normal tanpa belas kasihan bantuan kemanusiaan. “Anda bayangkan. Di sana, ada bayi tiga bulan dan perempuan yang akan melahirkan.”

Tiba di Surabaya malam hari, Massoud rehat seraya menyantap nasi goreng di sebuah hotel pinggiran kota. Seorang aktivis lokal datang seraya membacakan sebuah pesan singkat. Pesan datang dari seorang kiai muda yang juga hadir dalam pertemuan petang itu. Sang kiai meminta maaf. Dia bilang pernyataan para kiai senior tak mewakili warga Sampang. Berbeda dengan kiai elite, warga di lokasi konflik, Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, justru siap menerima kembali pengungsi Syiah. Upaya rekonsiliasi di tingkat akar rumput sedang diupayakan.

Kesepian di PBB

Berperawakan tinggi besar dengan berewok dibiarkan tumbuh menutupi pipi dan dagu, Massoud dikenal sebagai aktivis kawakan. Jejak aktivisme pria 61 tahun itu bisa dilacak balik hingga 1968. Saat itu, sebagai mahasiswa University of California, Barkley, dia terlibat dalam gerakan anti-Perang Vietnam. Dia masih ingat benar slogan “Kami semua Ho Chi Minh”—merujuk kepada pemimpin legendaris Vietnam yang menjadi musuh besar Amerika. Menurutnya, perang itu salah, tapi bukan karena banyak serdadu Amerika yang mati.

“Korban sesungguhnya rakyat Vietnam,” katanya. Dengan alasan yang sama, IHRC berani menyerukan slogan “Kami semua Hizbullah” ketika Israel menyerbu Lebanon pada 2006.

Slogan tersebut kontan memicu kontroversi. Media sayap kanan Inggris menuding IHRC menjadikan hak asasi manusia sebagai topeng guna menutupi agenda utama mendukung kelompok “jihadis” dan “teroris”. Terlebih Massoud terlihat mengenakan bendera Hizbullah dalam sebuah aksi unjuk rasa di Trafalgar Square, London. Massoud santai menanggapi tudingan tersebut. Dia justru heran media tersebut tak mengecam seorang Rabbi Yahudi yang juga membawa bendera Hizbullah dalam unjuk rasa yang sama. “Slogan itu bahkan kini biasa diserukan perempuan Inggris kelas menengah,” katanya.

Pada 1971, Massoud hijrah ke Inggris. Dia menyelesaikan studi doktoral dalam bidang Hubungan Internasional di Cambridge University. Di negeri Ratu Elizabeth itu, Massoud bertemu Arzu Merali, seorang jurnalis, yang kemudian menjadi istri dan ibu bagi empat anaknya: dua putra dan dua putri.

Bersama Arzu dan sejumlah aktivis Muslim Eropa, Massoud mendirikan IHRC pada 1997. Ketika itu, mereka cemas dengan kesenjangan antara fakta dan persepsi yang berkaitan dengan Muslim dan hak asasi manusia. Fakta menunjukkan 80 persen korban pelanggaran hak asasi manusia adalah Muslim. Namun, ironis, komunitas internasional mempersepsi Muslim sebagai pelaku.

Menurut Massoud, semua pendiri sepakat organisasi yang didirikan harus berkomitmen kepada prinsip menolong siapa saja yang membutuhkan, terlepas dari latar belakang agama dan etnis. Namun, dia tak setuju penyematan nama “Islam” di depan “Human Rights Commission”. Akhirnya, dia mengalah. Kini Massoud justru percaya itu pilihan tepat. “Jika Anda memiliki sebuah organisasi yang berkomitmen pada ‘keadilan untuk semua’ dengan menyandang nama Islam, itu positif.”

IHRC menyita perhatian publik, terutama saat menginisiasi proyek “The Prisoners of Faith”. Proyek itu mengampanyekan pembebasan lusinan tokoh yang dipenjarakan karena keyakinan mereka. Di antara mereka adalah Ibrahim Zakzaky, ulama Nigeria (bebas pada 1998), Gul Aslan, jurnalis Turki (bebas pada 1999), Nureddin Sirin, aktivis Turki (bebas pada 2004), dan Mat Sah bin Mohammed Satray aktivis Jamaah Islamiyah Malaysia (bebas pada 2009). IHRC melanjutkan proyek itu dengan memusatkan perhatian pada tokoh-tokoh yang ditahan semena-mena di penjara Amerika, seperti Abu Hamza al-Masri dan Syeikh Omar Abdul Rahman.

Sikap politik Massoud bukan tanpa risiko. Agustus tahun lalu, dia dicekal masuk Amerika padahal visanya masih berlaku hingga 2014. “Saya tak pernah diberi tahu alasannya. Tapi saya bangga jika ini berkaitan dengan aktivitas saya.”

Genap sepuluh tahun, IHRC memperoleh status konsultatif di Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa. Status prestisius bagi organisasi nonpemerintah yang memungkinkan IHRC menyampaikan laporan hak asasi manusia di sejumlah negara melalui mekanisme Universal Periodic Review. Massoud berharap organisasi Muslim lain bisa mengikuti langkah mereka. Pasalnya, di forum PBB, IHRC dikelilingi NGO berhaluan sekuler. “Jujur kami kesepian di PBB,” ujarnya.

Kembali ke soal Sampang, Massoud berharap Pemerintah Indonesia menempuh jalan rekonsiliasi. Relokasi pengungsi, menurut dia, bukan solusi. Relokasi justru bisa menjadi preseden buruk di masa depan. “Pemerintah ibarat bapak bagi rakyat. Seorang bapak sudah sepatutnya bertindak adil dan mendamaikan dua anaknya yang bertengkar. Dia juga meminta Jakarta mencermati serius berkembangnya konflik sektarian. “Sebab, ia melukai bukan hanya minoritas, melainkan juga mayoritas.”

Help us reach more people and raise more awareness by sharing this page
Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Email